
Rasulullah Saw. bersabda: “Seburuk-buruknya ulama adalah mereka yang mengunjungi para pemimpin, dan sebaik-baiknya para pemimpin adalah mereka yang mengunjungi ulama. Sebaik-baik pemimpin adalah ia yang berada di depan pintu rumah orang fakir, dan seburuk buruk orang fakir adalah ia yang berada di depan pintu rumah pemimpin.”
Banyak orang yang merasa puas hanya dengan memahami makna redaksi hadis ini secara tekstual, bahwa seorang ulama tidak seharusnya mengunjungi para pemimpin agar tidak menjadi seburukburuknya ulama. Padahal makna yang sebenarnya dari hadis tersebut bukanlah seperti itu, melainkan bahwa seburuk-buruk ulama adalah mereka yang bergantung kepada para pemimpin, semua yang mereka lakukan demi mendapatkan simpati dari para pemimpin. Sementara ilmu yang mereka miliki, sejak awal diniatkan sebagai media agar mereka dapat bercengkerama dengan para pemimpin, agar diberi penghormatan dan jabatan yang tinggi. Mereka mengubah dirinya dari bodoh menjadi berilmu semata-mata demi para pemimpin.
Ketika ulama itu menjadi terpelajar dan berpendidikan karena takut pada para pimpinan dan ingin dipuji, maka ia akan menjadi tunduk pada kekuasaan dan arahan sang pemimpin. Mereka menyenangkan diri dengan penuh harap agar sang pemimpin memerhatikan. Jadi, tidak peduli apakah ulama itu yang datang mengunjungi pemimpin atau pemimpin itu yang mengunjungi ulama, tetap menjadikan ulama sebagai pengunjung dan pemimpinlah yang dikunjungi.
Sementara ketika seorang ulama menuntut ilmu bukan demi seorang pemimpin, melainkan karena Allah semata sejak awal hingga akhir, maka tingkah laku dan kebiasaannya akan sesuai dengan jalan yang benar karena memang itulah tabiatnya dan mereka tidak akan mampu untuk melakukan hal yang sebaliknya, seperti ikan yang tidak bisa hidup dan tumbuh berkembang kecuali di dalam air. Ulama semacam ini memiliki akal yang dapat mengontrol dan mencegah dirinya dari perbuatan buruk. Pada waktu yang bersamaan, semua orang yang semasa dengannya akan tercerahkan dan segan kepadanya, serta memperoleh bantuan-bantuan dari cahaya dan perumpamaan- perumpamaannya, baik mereka sadari atau tidak.
Ketika ulama semacam ini datang mengunjungi pemimpin, maka sejatinya dialah yang dikunjungi dan pemimpin adalah pengunjungnya. Karena dalam segala kondisi, pemimpin itulah yang memperoleh pertolongan-pertolongan dan banyak manfaat darinya. Ulama ini tidak butuh kepada pemimpin itu. Ia laksana matahari yang memancarkan cahayanya, yang tugasnya adalah untuk memberi kepada semua makhluk, yang mengubah bebatuan menjadi akik dan yakut, yang menyulap gunung di bumi menjadi tambang-tambang tembaga, emas, perak, dan besi, yang menjadikan bumi hijau bersemi, dan yang memberkati pepohonan dengan buah-buahan yang berlimpah. Pekerjaan ulama ini adalah memberi dan tidak menerima. Dalam sebuah peribahasa Arab disebutkan: “Kami telah belajar untuk memberi, tapi tidak untuk menerima.” Dalam kondisi apapun, ulama yang sesungguhnya adalah yang dikunjungi, dan para pemimpin yang mengunjungi.
Tiba-tiba muncul sebuah pikiran dalam benakku untuk menafsirkan satu ayat al-Qur’an, meskipun ayat ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan pembahasan yang sedang kita bahas. Akan tetapi, ide ini terlintas di kepalaku sekarang, dan aku akan mengungkapkannya agar bisa diingat. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Anfal: 70 yang Artinya.
Hai Nabi, katakanlah kepada tawanan-tawanan yang ada di tanganmu: “Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hatimu, niscaya Dia akan memberikan kepadamu yang lebih baik dari apa yang telah diambil daripadamu dan Dia akan mengampuni kamu,” dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat ini diturunkan ketika Nabi Muhammad Saw. telah berhasil mengalahkan orang-orang kafir, membunuh sebagian dari mereka, dan merampas sebagian harta mereka. Beliau juga menawan banyak orang kafir dan membelenggu tangan dan kaki mereka. Salah seorang tawanan itu adalah paman Nabi Muhammad Saw. sendiri, yaitu ‘Abbas. Para tawanan itu menangis meraung-raung sepanjang malam dalam belenggu dan tidak mampu berbuat apa-apa. Mereka telah kehilang harapan-harapan mereka, menunggu pedang menebas leher dengan sekali hunus. Ketika melihat keadaan mereka, Nabi Muhammad Saw hanya tertawa.
Para tawanan itu berkata: “Lihat! Ia menunjukkan sifat kemanusiaannya, dan pernyataan bahwa dia manusia luar biasa tidaklah benar. Lihatlah! Ia di sana menatap dan memperhatikan kita dalam rantai dan belenggu ini, dan ia menikmatinya. Ia tak ubahnya budak-budak hawa nafsu yang ketika telah berhasil menaklukkan musuh-musuhnya dan melihat mereka dalam keadaan tak berdaya, ia tertawa riang dan berbahagia.
Melihat sesuatu yang tampak dengan jelas di dalam hatinya, Muhammad Saw. menjawab: “Bukan begitu, aku tidak akan pernah tertawa melihat musuh-musuhku yang telah takluk di hadapanku, atau melihat mereka tak berdaya dan hina. Aku senang, bahkan tertawa, karena aku melihat dengan mata hatiku, aku mengajak dan menarik-narik sejumlah orang dengan sepenuh tenaga, dengan belenggu, dengan rantai, keluar dari kepulan asap neraka Jahannam yang hitam dan kelam menuju surga, menuju keridaan Allah, dan musim semi yang abadi. Akan tetapi justru mereka terus mengeluh
dan menangis meraung-raung, sembari berkata: “Mengapa kau menyeret kami dari tempat kebinasaan ini menuju taman-taman bunga dan tempat yang paling aman?
Itulah mengapa aku tertawa. Meski demikian, karena kalian tidak dianugerahi kemampuan untuk melihat apa yang aku lihat dan tidak memahami apa yang baru saja aku katakan, Allah memerintahkanku untuk menyampaikan ini kepadamu: “Pada mulanya, kalian susun kekuatan, membentuk para tentara, membuat formasi kemiliteran, kalian begitu percaya diri dengan kejantanan, keberanian, dan kekuatan yang kalian miliki, lalu berkata pada diri sendiri: ‘Inilah yang akan kami lakukan, kami akan hancurkan orang-orang Islam dan menaklukkan mereka.’ Tapi kalian tidak melihat keberadaan Yang Maha kuasa, yang jauh lebih berkuasa dari kalian. Kalian tak tahu keberadaan Yang Maha Kuat, yang kekuatan-Nya jauh di atas
kekuatan kalian.
Itulah yang membuat semua yang kalian rencanakan sepenuhnya gagal total. Bahkan saat ini, ketika kalian dirundung ketakukan, kalian tidak dapat mengubah keyakinan, tidak dapat melihat pada alasan. Kalian berputus asa dan tetap tidak dapat melihat keberadaan Yang Maha Kuasa. Justru saat ini kalian melihat pada kekuatanku, kemampuanku, dan yang kalian tahu, kalian takluk karena kehendakku, sebab hanya sebatas itulah yang paling mudah yang dapat kalian pikirkan. Bahkan ketika rasa takut kalian sudah sampai di ubun-ubun, jangan pernah kehilangan harap terhadapku, karena
aku dapat membebaskan kalian dari rasa takut itu, membuat kalian berada dalam rasa aman. Dia yang mampu mengeluarkan banteng hitam dari banteng putih, pasti juga mampu mengeluarkan banteng putih dari banteng hitam.
Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah (berkuasa) memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam.” (QS. Al-Hajj: 61)
Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup.” (QS. Ar-Rum: 19)
Sekarang, saat kamu berada dalam ketakutan yang luar biasa, jangan pernah kehilangan pengharapan terhadap-Ku, sebab Aku masih akan mengulurkan Tangan-Ku untuk kalian:
Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafi r.” (QS. Yusuf: 87)
Allah SWT berfi rman: “Hai para tawanan, jika kalian berpaling pada keyakinan yang dulu, memandang-Ku dengan khauf (rasa takut) dan raja’ (penuh harap), dan menyadari bahwa diri kalian berada dalam kendali-Ku, maka Aku akan membebaskan kalian dari rasa takut itu. Aku juga akan mengembalikan semua harta yang dirampas saat perang dan kerusakan yang telah terjadi, bahkan akan Aku lipatgandakan dengan sesuatu yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Akan Aku ampuni kalian dan akan Aku gabungkan kebahagiaan dunia dan akhirat untuk kalian.
Aku bertobat, aku telah berpaling dari keyakinanku yang terdahulu,” kata ‘Abbas. Rasulullah bersabda: “Pengakuan tobat yang baru saja kamu
ucapkan butuh bukti,”
Menyatakan cinta adalah hal yang mudah, Tetapi pernyataan itu butuh bukti dan fakta.
Dengan menyebut nama Allah, bukti apa yang engkau inginkan?” jawab ‘Abbas. Nabi Muhammad bersabda: “Jika kamu benar-benar seorang
Muslim dan menginginkan kebaikan pada Islam dan umatnya, berikan sejumlah harta yang tersisa dari dirimu kepada tentara Islam, sehingga
tentara kita bisa lebih kuat!”
Abbas berkata: “Wahai Rasulullah, harta apa lagi yang tersisa dariku? Semua milikku telah dirampas, bahkan mereka tidak menyisakan apa-apa selain karpet lusuh ini Rasulullah bersabda: “Lihatlah, kamu tidak jujur. Kamu belum kembali dari kebiasaan buruk masa lalumu. Kamu belum melihat
cahaya kebenaran. Haruskah aku katakan kepadamu seberapa banyak harta yang kamu miliki, di mana kamu menyembunyikannya, pada siapa harta itu kamu titipkan, dan di tempat seperti apa kamu menguburnya?”
Abbas menjawab: “Tidak. Sungguh aku sudah tidak punya apa-apa lagi.”
Rasulullah bersabda: “Bukankah kamu menitipkan sejumlah harta pada ibumu? Bukankah kamu mengubur sebagian hartamu di tempat ini dan itu? Bukankah kamu mengatakan secara rinci kepada ibumu: “Jika aku kembali, kembalikan semua harta ini kepadaku. Jika aku tidak kembali dengan selamat, belanjakanlah beberapa jumlah dari harta ini untuk suatu kepentingan tertentu, berikan sekian kepada si fulan, dan bagian untukmu adalah sekian?”
Ketika ‘Abbas mendengar hal itu, ia mengangkat jemarinya dengan penuh keimanan. Ia berkata: “Ya Rasulullah, dahulu aku selalu yakin bahwa dirimu mewarisi nasib baik para raja terdahulu seperti Haman, Syadad, Namrud, dan yang lainnya. Tetapi setelah engkau mengatakan hal-hal tadi, aku langsung percaya dan yakin bahwa yang baru saja engkau katakan adalah rahasia Allah.
Nabi Muhammad menjawab: “Kau benar. Kali ini aku mendengar gemeretak keraguan di dalam hatimu, yang gemanya terdengar dalam ruang di telingaku. Aku memiliki telinga yang tersembunyi di balik jiwaku yang terdalam. Dengan telinga itu, aku dapat mendengar geretak keraguan, kemusyrikan, dan kekafi ran di dalam hati semua orang. Suara-suara itu terdengar oleh telinga jiwaku. Sekarang, kamu benarbenar telah melepas masa lalumu, dan menjadi seorang Mukmin.
Dalam menafsirkan cerita di atas, Maulana Rumi berkata: Aku menceritakan kisah ini kepada Amir Barwanah karena satu sebab, yaitu ketika pertama kali kamu menjadi prajurit tentara Islam, kamu berkata: “Aku akan menjadikan diriku sebagai tebusan, akan aku korbankan akal dan pikiranku demi berdirinya agama Islam dan langgengnya banyak orang Islam, agar agama ini terus menjadi aman dan kuat.” Akan tetapi saat kamu bergantung hanya pada akal dan pikiranmu tanpa melirik pada Allah dan melupakan bahwa segala sesuatu berasal dari-Nya, Allah menjadikan semua
itu sebagai kekurangan bagi Islam; kamu mengadakan kesepakatan dengan kaum Tartar, kamu sediakan perlindungan untuk mereka, kamu musnahkan orang-orang Suriah dan Mesir, yang pada akhirnya kamu menghancurkan Islam. Allah justru menjadikan akal dan usaha yang kamu banggakan dan kamu harapkan sebagai jalan untuk melanggengkan Islam itu menjadi sebuah penghancur yang membabi-buta. Oleh karenanya, tengadahkan wajahmu ke hadapan Allah dalam khauf. Percayalah bahwa Allah akan segera melepaskanmu dari belenggu rasa takut yang buruk ini, dan jangan pernah hilangkan pengharapan kepada-Nya meski Ia melemparmu dari berbagai bentuk ketaatan ke dalam kubangan maksiat ini.
Kamu melihat ketaatan itu berasal darimu, maka jatuhlah dirimu ke dalam kemaksiatan. Sekarang, meski kamu bernodakan maksiat, pengharapan itu jangan pernah menghilang. Mengemislah kepadaNya, karena Allah itu Maha Kuasa. Dia telah menampakkan kepadamu ketaatan dari kemaksiatan itu, dan Dia juga kuasa untuk melakukan yang sebaliknya. Ia mampu menganugerahimu penyesalan yang mendalam karena dosa yang telah kamu perbuat, dan mempersiapkanmu beberapa alasan agar kamu kembali bisa berbuat sesuatu untuk umat Islam dan menjadi kekuataan bagi mereka.
Maka, jangan pernah hilangkan pengharapan itu, sebab: “Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” [QS.
Yusuf: 87]
Tujuanku untuk memberikan pemahaman ini kepada Amir adalah agar ia percaya dan mau mengemis di hadapan-Nya. Ia telah mengalami degradasi dari puncak kejayaan ke dalam lembah yang curam, sehingga dalam kondisi seperti ini, aku berharap ia masih memiliki harapan. Allah SWT itu Maha Cerdas, Dia menunjukkan sesuatu dalam bentuk yang baik tapi di dalamnya luar biasa busuk. Bukan demi apa-apa, melainkan agar manusia tidak mudah tertipu, hingga akhirnya ia mengerti dan berkata: “Ide dan perbuataan yang baik tampak di hadapanku.
Seandainya semua yang ada di dunia ini tampak sebagaimana adanya, maka Nabi Muhammad Saw., yang diberkahi dengan mata yang cemerlang dan tembus pandang, tidak akan menangis: “Ya Allah, tunjukkan padaku segala sesuatu sebagaimana adanya, Engkau memperlihatkan sesuatu yang sangat indah, tetapi ternyata sangat buruk. Kau menunjukkan sesuatu yang sangat buruk, tapi sesungguhnya ia begitu indah. Oleh karen itu, tunjukkan padaku segala sesuatu sebagaimana adanya, agar aku tak jatuh dalam jurang kemusyrikan dan terus tersesat
Sebagus dan secemerlang apapun buah pikiranmu, tidak akan lebih hebat dari buah pikiran sang Nabi. Jadi, jangan terlalu mengandalkan akal dan pikiran. Jadilah orang yang terus mengemis dan takut di hadapan Allah SWT. Tujuanku hanya menyampaikan hal ini. Barwanah menggunakan ayat dan tafsir seperti yang dijelaskan tadi sesuai dengan kehendak dan buah pikirannya dengan berkata: “Saat ini kita memiliki bala tentara yang melimpah ruah, tetapi tidak seharusnya kita lantas mengandalkan mereka.Saat kita begitu terpuruk, dirundung rasa takut dan ketidakberdayaan, juga jangan sampai kita kehilangan harapan.” Barwanah menggunakan ucapanku sesuai dengan kehendaknya, inilah tujuanku menyampaikan hal itu.